Apasih kamera prosumer itu??

Posted by

Kamera prosumer atau kamera semi pro pada dasarnya adalah kamera pocket yang memiliki kelebihan pada zooming dan pengaturannya yang hampir sama dengan kamera DSLR atau profesional, diantaranya ada pengaturan bukaan, kecepatan rana, iso dan lainya.

Istilah "prosumer" merupakan gabungan PROfesional dan conSUMER. Bila sebuah camera disebut sebagai model prosumer biasanya ditandai kemampuan point and shoot tapi memiliki fitur lebih canggih dibanding pocket camera antara lain seperti dimilikinya kemampuan pemakaian secara manual untuk pengaturan exposure, ISO, tersedianya format RAW image capture. Prosumer camera ditargetkan untuk konsumen yang antusias pada fotografi.
Beberapa contoh prosumer camera adalah Canon PowerShot S90, PowerShot G11, Panasonic Lumix DMC-LX3 dan Nikon Coolpix 8700, Fujifilm S4500, S4600, HS 30 XR dll.


kamera prosumer, atau kadang kala disebut "bridge camera" adalah kamera yg berada di antara kamera digital saku P&S (point & shoot) dan kamera profesional,.
fungsi kamera prosumer adalah untuk "menjembatani" celah antara kamera SLR dan kamera saku.
kamera prosumer biasanya memiliki fitur setara atau mendekati SLR tapi dgn kemudahan kamera saku P&S

 
Saat ini perbedaan utama dengan DSLR adalah pada ukuran dimensinya, prosumer lebih kecil dan ringan dibanding DSLR demikian pula dengan kemampuannya masih dibawah DSLR. Viewfinder pada prosumer tidak langsung diperoleh dari lensa bahkan ada yang memakai LCD kecil sbg electronic viewfinder (mis . Nikon Coolpix 8700). Beberapa waktu lalu prosumer tidak bisa di ganti2 lensanya, tapi sekarang prosumer sudah "mensejajarkan diri" dengan DSLR dengan kemampuannya untuk di ganti2 lensanya walau belum banyak pilihan. Contoh prosumer camera yang bisa diganti lensanya adalah Olympus Pen E-P1, Panasonic Lumix GF1, Samsung NX10. Seperti pada DSLR, setiap merk, lensanya tidak compatible satu sama lain.

 
Contoh gambar kiri: prosumer fujifilm, kanan DSLR Pentax

Kamera prosumer/bridge camera/kamera semi-pro, berawal dari solusi tengah-tengah antara kamera saku dan DSLR. Tidak jelas siapa yang pertama memperkenalkan istilah-istilah ini, bahkan kriteria sebuah kamera layak dianggap sebagai kamera prosumer juga sebetulnya tidak jelas bahkan cenderung bias. Saat awal mula kamera prosumer diperkenalkan, harga kamera DSLR saat itu amat tinggi. Tuntutan akan kebutuhan fotografi profesional dengan budget terjangkau membuat kamera prosumer kala itu menjadi laris manis (meski waktu itu harga prosumer tetap saja masih cukup mahal). Namun kondisi saat ini sudah banyak berubah. Semakin murahnya harga kamera DSLR sekarang membuat produsen kamera mulai mengurangi produksi jajaran prosumernya dan lebih fokus untuk bersaing di pasar DSLR (meski tahun ini tampaknya menjadi awal kebangkitan kembali prosumer walau tidak harus mengusung bandrol harga yang tinggi seperti dahulu). Setidaknya, masih banyak orang yang menginginkan kamera jenis ini, karena dengan kamera ini sang pengguna dapat memaksimalkan kemampuan dan kreativitasnya dalam memotret berkat keleluasaan memakai pengaturan eksposure manual dan dukungan lensa (dan sensor) yang sedikit lebih besar dari kamera saku biasa, tanpa harus memiliki kamera dan lensa-lensa DSLR. Meski tidak ada referensi yang pasti, bolehlah saya mendaftarkan beberapa syarat-syarat wajib sebuah kamera pantas menyandang nama prosumer :
  • mempunyai pilihan setelan eksposure lengkap (program, shutter priority, aperture priority, manual)
  • setelan penting lainnya juga harus bisa diatur secara manual (fokus, ISO, white balance, flash, kompresi JPEG dsb)
  • memiliki kualitas lensa yang baik (kontras tinggi, ketajaman pada seluruh rentang zoom baik, distorsi rendah, bukaan lensa maksimal besar saat wide atau tele)
  • memiliki sensor lebih besar (minimal 1/1,8 inci, umumnya 2/3 inci) sehingga didapat dynamic range dan kinerja low-light yang lebih baik
  • tersedia pilihan format file selain JPEG, misalnya TIFF dan RAW
  • menyediakan keleluasaan untuk menambah asesori lensa (filter, wide/tele converter dsb)
  • memiliki kinerja lebih baik daripada kamera saku (kecepatan fokus, shutter-lag, shot-to-shot, burst mode dsb)
  • memiliki fitur penting lain : stabilizer, flash hot shoe, AF assist light, bracketing, viewfinder dengan diopter adjustment.
Kini dengan semakin turunnya harga kamera DSLR, kamera prosumer terus tertekan dan berevolusi menjadi beberapa generasi baru seperti kamera super-zoom yang kini panjang lensanya telah mencapai rekor 20x zoom optik. Tidak ada yang salah memang, sah-sah saja bila produsen berupaya mempertahankan eksistensi prosumernya sehingga harus muncul kamera super-zoom begini (apalagi pasar selalu merespon positif). Hanya saja fakta sekarang ternyata tidak lagi mudah dijumpai kamera prosumer terkini yang benar-benar memberi kualitas hasil foto yang memuaskan (setidaknya dalam kaca mata profesional). Mengapa? Utamanya karena tuntutan pasar akan harga jual prosumer yang harus sedikit dibawah kamera DSLR termurah membuat penurunan kualitas dari prosumer itu sendiri. Kalau DSLR termurah saja sekarang sudah berada di rentang 5 jutaan, prosumer harus lebih murah dari itu (padahal dahulu harga prosumer ada yang sampai 10 jutaan). Hingga akhirnya prosumer masa kini lebih cenderung menjadi kamera point-and-shoot biasa namun berfitur lengkap dan dapat dioperasikan secara manual.
Nah, kembali ke topik awal, apa yang membuat kamera seperti ini masih tetap diperhitungkan saat seseorang berencana membeli kamera advanced? Barangkali inilah beberapa alasan yang umum dikemukakan orang :
  • Harga. Ya, tentu saja, sebuah kamera prosumer yang berharga 4 juta misalnya, sudah lengkap dengan lensa. Faktor harga ini jadi alasan utama mengapa tidak semua orang bersedia membeli kamera DSLR. Apalagi ada anggapan bahwa dengan membeli kamera DSLR, dia akan mengalami efek domino karena setelah itu harus membeli jajaran lensa-lensanya, lampu kilatnya, filternya, battery gripnya dan asesori lain yang jika ditotal-total biaya investasinya akan membuat kaget sendiri.
  • Praktis. Sebuah kamera prosumer masih relatif lebih kecil daripada kamera DSLR sehingga cukup praktis dan ringan (tidak semua orang suka menenteng kamera yang beratnya mencapai beberapa kilogram). Apalagi memakai kamera DSLR bila punya banyak lensa akan repot saat sering mengganti lensa (dan kemungkinan ada debu yang masuk kedalam kamera DSLR dan menempel di sensornya).
  • Fitur movie. Inilah alasan yang tidak bisa disangkal mengingat sampai sekarang belum ada DSLR yang bisa merekam video. Dengan memiliki kamera prosumer ternyata juga bisa dimanfaatkan menjadi camcorder yang bisa merekam video. Bahkan kamera saku biasa sudah ada yang bisa merekam video berkualitas HD (ya, HD! bukan VGA) dengan audio stereo berkat memakai kompresi terkini MPEG-4 AVC.


kode ads
Blog, Updated at: 05.16

0 komentar:

Posting Komentar